
Gunungkidul – Ada daerah wisata gres di Gunungkidul yang bodoh tapi asyik. Suasana pedesaannya yang asri dan masih alami dijamin bikin kau betah.
Suasana pedesaan yang masih asri dan alami memang cocok dijadikan daerah merefresh pikiran seseorang. Salah satunya dengan mengunjungi ‘Wulenpari’, sebuah Desa yang berada di Pinggir Sungai Oya, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Gunungkidul.
Berjarak 25 KM dari jantung Kota Yogyakarta, lokasi Wulenpari sangat gampang ditemukan. Mengingat pengunjung hanya perlu menyusuri jalan utama Jogja-Wonosari hingga hingga di Desa Beji, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Tepatnya sesudah Desa Putat atau sebelum daerah para pedagang yang menjajakan buah di pinggir jalan tersebut.
Nantinya, terdapat sebuah pelakat bertuliskan Desa Beji yang berada di sebelah kanan jalan, tepatnya di sebuah tikungan. Setelah itu, pengunjung hanya perlu menyusuri jalanan beraspal tersebut hingga menemukan simpang 3 yang di dekatnya terdapat sebuah plakat bertuliskan Jelok.
![]() |
Tak perlu lama, usai menyusuri jalanan cor blok itu pengunjung akan menemukan dua jembatan gantung. Dari sini pengunjung diharap mengambil arah ke kiri yaitu menuju ke Wulenpari. Untuk melewati jembatan gantung itu, pengunjung hanya sanggup mengendarai motor atau berjalan kaki saja.
BACA JUGA: Tempat Romantis di Gunungkidul untuk Nikmati Senja
Selama perjalanan di jalan setapak yang terbuat dari konblok itu, mata pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan Sungai Oya di sebelah kanan dan hijaunya pepohonan menuju Wulenpari. Tak hingga 5 menit pengunjung akan mendapati beberapa rumah tradisional yang berdiri di atas hamparan rerumputan hijau.
Suasananya di Wulenpari juga sangat asri dan jauh dari bunyi kendaraan bermotor. Selain itu, terdapat pula beberapa bahtera yang berada di atas rerumputan tersebut, di mana bahtera itu sanggup dipakai untuk menyusuri Sungai Oya yang berada sempurna di pinggir Wulenpari.
![]() |
Melongok ke dalam, pengunjung akan mendapati beberapa bangunan dengan konsep tradisional yang di dalamnya terdapat gamelan dan beberapa benda jaman dahulu. Selain itu terdapat pula, rumah makan yang menyajikan makanan tradisional menyerupai sayur lombok (cabai) hijau, oseng-oseng dan aneka minuman menyerupai wedang rempah serta kelapa muda.
Salah seorang pencetus Wulenpari, Aminudin Azis mengatakan, bahwa Wulenpari sendiri gres akan memasuki usia 1 tahun. Mengingat Wulenpari sendiri gres dibangun pada bulan Desember tahun 2017 dan dibuka untuk umum pada bulan Juni tahun 2018.
“Jadi sesudah angin ribut cempaka itu kan bantaran Sungai Oya rusak, terus kita tolong-menolong dengan warga berniat untuk memperbaikinya. Nhah, alasannya lokasinya ada di pinggir Sungai maka dikala itu warga setuju untuk menciptakan daerah peristirahatan sekaligus daerah wisata,” ujar Aziz, Senin (11/3/2019).
![]() |
Lebih lanjut, untuk nama Wulenpari sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya untaian padi. Terlebih, dalam falsafah Jawa untaian padi kerap ditaruh di rumah guna membuktikan kemakmuran atau kesejahteraan. Sehingga nama tersebut hasilnya dipilih dengan impian keberadaan Wulenpari sanggup mensejahterakan masyarakat di Desa Beji pada khususnya.
“Seperti jembatan gantung itu sengaja dibikin untuk kanal masyarakat biar sanggup gampang ke lahannya untuk bertani. Kaprikornus keberadaan Wulenpari ini ingin mensejahterakan masyarakat sekitar, untuk pengelolaannya juga kita libatkan seluruh masyarakat Desa Beji,” ucapnya.
Sambung Aziz, Wulenpari sendiri berdiri di atas tanah dengan luas sekitar 1 hektare yang di dalamnya berisi bangunan tradisional untuk homestay, rumah makan dan beberapa daerah yang dipakai untuk mempelajari pertanian. Aziz menyebut, konsep yang diusung Wulenpari memang lebih ke arah tradisional dan sarat akan nilai budaya.
![]() |
Menurutnya, hal itu semoga pengunjung sanggup mencicipi suasana asri, alami dan nyamannya pedesaan dikala mengunjungi Wulenpari. Selain itu, ia menganggap suasana menyerupai itu sangat diharapkan wisatawan yang penat dan jenuh dengan rutinitasnya di perkotaan.
“Dibuat menyerupai ini (konsep pedesaan) alasannya harapannya yang ke sini sanggup menenangkan pikiran dari hiruk pikuk kota dan kesibukannya dikala hari kerja. Dengan suasana asri gini kan orang itu sanggup merasa lebih damai, lebih tenang, serta pulang dari sini sanggup fresh dan kebijaksanaan berpikirnya jadi lebih baik dikala beraktivitas,” ujarnya.
Aziz menambahkan, Wulenpari juga mempunyai Pasar tradisional berjulukan Pasar Srawung yang mengusung konsep pasar jaman dahulu. Di Pasar tersebut, pengunjung sanggup membeli aneka makanan dan minuman tradisional dikala mengunjungi Wulenpari.
“Tapi pasarnya tidak setiap hari buka, bukanya setiap 35 hari sekali, tepatnya pas pasaran Kliwon,” katanya.
Untuk biaya masuk ke Wulenpari sendiri pengunjung tidak dikenakan biaya. Pengunjung hanya perlu menyediakan uang untuk menyusuri Sungai Oya dengan memakai bahtera dan membeli makanan dan minuman saja. Untuk harga makanan sendiri bervariasi, mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu.
Sumber detik.com